PERISTIWA
CUMBOK
Tulisan
Ini Awalnya Dari Kutipan Yang Di Dapatkan Oleh Penulis, Yaitu:
“suara
itu bergetar, “saya tidak maw membicarakannya,” kata profesor teuku Ibrahim
alfian, ahli sejarah dari universitas gadjah mada, yogykarta. Ayah dan ibu
Ibrahim memeng selamat dari perang combuk yang meletus di aceh tahun 1946. Tapi
nenek, kakek, paman, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada
keluarga uleebalang atau bangsawan. “saya tidak tahu di mana kubur mereka
sampai kini,” kata Ibrahim. Dan bukan haanya Ibrahim alfian yang berduka. “kita
semua menangis mengenang kejadian berdarah itu.” Kata farhan hamid, anggota DPR
dari fraksi reformasi. Farhan adalah anak ke tiga dari teungku abdul
hamid-akrab di panggil ayah hamid-ulama, juga sahabat teungku d beureueh.
Seperti di sebut james T. siegel, antropolog dari university of California,
dalam bukunya the rope god (1962), perang cumbok tidak pernah lepas dari
konteks tatanan social pada saat itu. Tatanan yang sengaja di bangun demi kepentingan
belanda, namun yang sangat di sayangkan masyarakat aceh, baik uleebalang dan
ulama tidak menyadri akan kepentingan belanda tersebut. (majalah tempo “cumbok
sepotong sejarah gelap)
Peristiwa
cumbok terjadi pada tahun 1946, berpusat di pidie. Pertikaian ini memuncak
karna adanya kesaahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan uleebalang atau
bangsawan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 agustus 1945.
Pertikaian terjadi antara dua kubu yang berbeda yaitu kubu uleebalang dan
ulama, masing-masing kubu memiliki pemimpin dan panglima. Dari kubu uleebalang
di pimpin oleh teuku keumangan dengan panglimanya teuku daud cumbok (uleebalng
ke negerian cumbok) dan kubu ulama di pimpin oleh daud beureueh dengan
panglimanya husin al-mujahid. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa
bersejarah bagi masyarakat aceh. Hingga sekarang, peristiwa cumbok tetap di
kenang dan menjadi catatan sejarah hitam dalam perkembangan perjuangan dan
refolusi social di aceh.
Apa
itu cumbok?
Cumbok
adalah nama sebuah landskap ( kenegerian yang kemudian menjadi kecamatan)
termasuk dalam kewedanan atau onderafdeeling lam meulo yng tergabung dalam
kabupaten atau afdeeling pidie (sebelum masuk afdeeling moord kust van atjeh
atau aceh utara ). Kecamatan cumbok pada zaman hindia belanda di namakan
landschap van cumbok. Sedang kepala daerahnya di sebut zelbestuurder van
cumbok. Dalam bahasa daerah di sebut uleebalang cumbok. Ia memakai gelar teuku
seri muda pahlawan bintara cumbok. Sebelum proklamasi kemerdekaan uleebalang
cumbok adalah teuku Muhammad daud terkenal dengan teungku cumbok. Sedangkan
controleur lam meulo pada waktu itu adalah scholten. Sebelum zaman kemerdekaan
, pemerintah aceh pidie meliputi tiga kewedanan yaitu kewedanan sigli, lam
meulo, meureudu, bireun lhokseumawe, lhoksukon dan tkengon.
Tercetusnya
peristiwa cumbok
Pada
waktu dahulu, di wilayah aceh kecuali daerah aceh besar terdapat 102 daerah keuleebalang yang merupakan raja-raja
kecil yang absolut. Uleebalang memegang kekuasaan secara turun temurun atas nama
sultan akan tetapi lambat laun ikatan antara uleebalang dan sultan semakin
lema. Hingga akhirnya mereka memisahkan diri dari sultan dan menjadi merdeka.
Merek di nobatkan sebagai raja kecil di daerahnya dengan demikian mereka
memihak kepada belanda dan mengadakan perjanjian setia secara sendiri-sendiri.
Peristiwa tersebut di namakan korte veerklaring atau perjanjian singkat.
Dari
keterangan tersebut uleebalang dianggap melakukan kecurangan karena sebelumnya
mereka bahu membahu dengan ulama melawan belanda, uleebalang terutama di daerah
pidie sudah berubah dan mereka berpihak serta setia kepada belanda, sedangkn
ulama tidak pernah menerima kekuasaan belanda. Sebelum jepang mendarat ke aceh
pada bulan maret 1942 pemberontakan pada belanda pada umumnya, di pimpin oleh
para ulama yang tergabung dalam PUSA (persatuan ulama seluruh aceh). Faktor
inilah yang terus memperuncing hubungan antara uleebalang dan ulama sehingga
mereka mengambil keputusan untuk menghancurka uleebalang dan menghapuskan
system pemerintahan feudal serta kekuasaan belanda di aceh.
Pada
bulan September berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
agustus 1945 telah sampai ke aceh melalui perantaraan kawat yang di kirim oleh
A.K. Gani, komisaris pemerintaha pusat untuk sementara di Palembang. Pada saat
itu, seluruh rakyat terutama pemuda menyambutnya dengan kegembiraan yang
meluap-luap. Namun ketika itu di gambarkan ada sebagian dari kelompok
uleebalang masih ragu-ragu dan mencemoohkan proklamasi kemerdekaan Indonesia
serta mereka melakukan tindakan-tindakan yang menghambat usaha-usaha menegakkan
kemerdekaan. Keragu-raguan, cemoohan serta tindakan uleebalang tersebut
menambah keyakinan pihak ulama bahwa kaum uleebalang itu benar-benar bermaksud
hendak mengembalikan kekuasaan belanda ke aceh. Atas praduga tersebut maka kaum
ulama tidak ragu-ragu lagi untuk menghancurkan mereka.
Pada
oertengahan bulan November 1945 persiapan kedua belah pihak sudah rampung,
hanya menunggu waktu yang baik untuk bertindak. Saat yang mereka nantinya tiba
dengan timbulnya suatu peristiwa di kota sigli yaitu penyerahan senjata oleh
tentara jepang. Peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya pertumpahan darah
antara pihak ulama dan uleebalang pada tanggal 4 desember 1945. Namun akhirnya
pertempuran ini dapat di damaikan oleh pemerintahan daerah aceh pada tanggal 6
desember 1945. Walaupun demikian pertempuran tidak dapat di hindari, sehingga
peristiwa ini di kenal dengan peristiwa cumbok. Para uleebalang maupun pihak
ulama menganggap peristiwa ini sebagai peristiwa penting yaitu hidup atau mati.
Insider
dalam bukunya aceh sepintas lalu menggambarkan bagaimana kekuatan dari kedua
kelompokyang sedang bertikai yaitu uleebalang terdiri dari raja-raja serta
familinya, di samping itu juga terdapat sebahagian besar orang-orang yang telah
lanjut usia, mereka adalah abdi setia kepada rajanya secara turun-temurun.
Pihak kedua yaitu pihak ulama yang terdiri dari alim ulama, pemuda dan mereka
tidak puas dengan raja-rajanya. Rasa tidak puas tersebut di picu oleh
pendirian yang principieel di samping
mereka bercita-cita hendak menhapuskan zelfbestuurder di aceh. Namun pihak
kedua ini memiliki pengikut yang lebih banyak dari pihak yang pertama.
Pertikaian
antara dua kubu tersebut terjadi lagi, pada tanggal 12 januari 1946, di lakukan
serangan umum terhadap kota lam meulo yang merupakan benteng pertahanan cumbok
terkuat . dari barat yaitu dari jurusan glee gapui, serangan yang di gencarkan
oleh barisan rakyat dari garot dan seulimeum di bawah pimpinan hasan ali di
bantu juga oleh hasan saleh, hasbullah daud dan T ubit. Inti kekuatan oleh
barisan rakyat ini adalah sebuah meriam
howitzer yang di datangkan dari kuta raja. Dari selatan yaitu dari titeu
serangan di lakukan oleh barisan rakyat dari tangse dan padang tiji di bawah
pimpinan ayah daud tangse dan muhd. Juned affandi. Sementarab dari timur yaitu
jurusan pulo drien bireuen di bawah pimpinan nyak hasan bersama dengan T.H
zainul abidin, H. tahir, Muhd tahir geurugo’, said umar dan tengku hasan matang
geulumpang dua. Dari utara yaitu dari jurusan mali, menyusur jalan kereta api
yaitu jalan raya beureunun lam meulo.
Pada
tanggal 12 januari 1946 meletuslah perang secara besar-besaran antara kedua
belah pihak. Perang tersebut menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tidak
terhingga. Akibat dari pertempuran tersebut rumah teungku daud cumbok yang
menjadi markas uleebalang dan benteng pertahanan penuh dengan lobang-lobang
bekas hantaman peluru meriam. Setelah barisan rakyat menduduki lam meulo yang mereka
cari adalah panglima cumbok yaitu teuku daut cumbok ternyata panglima sudah
tidak ada lagi di tempat. Ia dan stafnya sudah melarikan diri. Segera di
perintahkan kepada pasukan untuk memburunya. Pada tanggal 16 januari 1946 teuku daud cumbok dengan stafnya di tangkap
di kaki gunung seulawah oleh barisan rakyat dari silimeum yang di pimpin oleh
tgk. Ahmad Abdullah. Pembunuhan dan penangkapan terhadap para uleebalang tidak
mengakhiri pertikaian tersebut. Dalam buku riwayat hidupnya, syamaun gaharu
yang juga tokoh API (angkatan pemuda Indonesia) dan mantan panglima kodam 1
aceh, menyebutkan, tindakan rakyat aceh memburu kaum uleebalang sangat kejam.
Banyak warga mati tanpa kubur, tiada di mandikan, tiada di slatkan. Sayangnya,
tidak ada data pasti jumlah korban dalam revolusi social tersebut. Ada yang
memperkirakan mencapai tiga ribu orang. Sejak itu citra ulama melambung, daud
beureueh kian popular sebagai pemimpin revolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar